بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Surat al-Fatihah menyimpan sekian banyak pelajaran dan hikmah. Pada kesempatan ini kami akan menyajikan petikan-petikan faidah ilmu dari surat al-Fatihah yang disampaikan oleh seorang ulama yang tidak asing lagi bagi kita; yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah.
Keterangan-keterangan beliau ini kami ambil dari kitab beliau Ahkam min al-Qur’an al-Karim (cet. Dar Thawiq, 1415 H) dan bila ada keterangan beliau yang tercantum dalam kitab yang lain insya Allah akan kami sebutkan, sejauh yang kami ketahui. Semoga dengan memahaminya kita bisa merenungkan keindahan ayat-ayat Allah dan merealisasikannya di dalam kehidupan kita. Kepada Allah lah kita memohon ilmu yang bermanfaat.
Kandungan Ayat Pertama
Allah ta’ala berfirman,
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Segala puji untuk Allah Rabb alam semesta.”
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menyebutkan, bahwa diantara kandungan pelajaran dari ayat yang mulia ini adalah:
- Ayat ini menunjukkan kesempurnaan sifat-sifat Allah dan kesempurnaan nikmat yang diberikan-Nya kepada hamba. Sebab istilah al-Hamd [pujian] tidak layak diberikan kecuali kepada Dzat yang memiliki sifat yang sempurna, perbuatan yang sempurna. Yang dimaksud dengan pujian di sini adalah pujian yang mutlak dan sempurna
- Dalam kata ‘Allah’ terkandung penetapan uluhiyah [sifat ketuhanan] bagi Allah ‘azza wa jalla. Allah lah ilah/sesembahan yang benar, sedangkan sesembahan selain-Nya adalah sesembahan yang batil
- Penggunaan huruf lam [li, artinya untuk] dalam kata alhamdu lillah menunjukkan bahwa hanya Allah yang berhak menerima pujian semacam itu. Sehingga tidak ada seorang pun yang menyaingi diri-Nya dalam hal itu. Ini artinya; pujian yang mutlak dan sempurna hanya pantas ditujukan kepada Allah ‘azza wa jalla. Segala sesuatu selain Allah hanyalah dipuji karena suatu sebab tertentu [bukan pujian yang mutlak], dengan pujian yang sesuai dan setimpal dengan sebab tersebut
- Dalam kata ‘Rabb alam semesta’ terkandung penetapan rububiyah Allah ‘azza wa jalla. Rabb maknanya adalah Yang Mencipta, Menguasai dan Mengatur. Maka tidak ada Pencipta selain Allah. Tidak ada Penguasa selain Allah. Dan tidak ada Pengatur segala urusan kecuali Allah. Penyandaran penciptaan dan pengaturan kepada selain Allah adalah penyandaran yang tidak sempurna, karena kekurangan [ketidaksempurnaan] yang ada padanya secara substansial, demikian pula karena kekurangannya dalam hal cakupan dan keluasannya. Adapun penciptaan, penguasaan, dan pengaturan yang disandarkan Allah adalah sesuatu yang bersifat sempurna, menyeluruh, dan luas [tidak terbatas]
- Di dalam ayat ini juga terdapat penetapan Rabb [pencipta] dan Marbub [yang diciptakan], yang secara otomatis menunjukkan perbedaan yang jelas antara al-Khaliq dan makhluk. Sehingga hal ini memuat bantahan bagi orang-orang menyimpang yang menganut aliran Wahdatul Wujud [kesatuan hamba dengan tuhan]
- Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa seluruh alam ini sangat membutuhkan Allah ‘azza wa jalla. Karena tidak akan terwujud kebaikan pada makhluk kecuali dengan pertolongan dan bimbingan Rabb; yaitu Allah. Allah lah yang menjadi Murabbi [pen-tarbiyah] segala sesuatu selain-Nya dari segala sisi
- Dalam firman-Nya ‘Rabb alam semesta’ juga terkandung ketetapan bahwasanya para malaikat, rasul, dan wali tidak memiliki kedudukan dan andil sedikit pun dalam urusan pengaturan dan penciptaan. Konsekuensinya adalah tidak boleh bagi siapapun untuk menjadikan mereka -malaikat, rasul, wali- sebagai tujuan ibadah; baik dengan berdoa, ber-istighotsah, maupun memohon pertolongan. Sebab mereka adalah makhluk yang diciptakan dan dipelihara oleh Allah -sama seperti kita-. Mereka sendiri juga pada hakikatnya sangat membutuhkan Allah dan tidak bisa lepas dari bantuan-Nya. Lantas bagaimana bisa mereka justru dijadikan sebagai tempat kembali bagi hamba dan tempat memohon perlindungan, keselamatan, dan curahan rahmat?!
- Ayat ini menunjukkan bahwa alam semesta ini baru ada -setelah sebelumnya tidak ada- berbeda halnya dengan Allah Yang Maha Awal [al-Awwal] dan Maha Akhir [al-Akhir]. Di dalam hadits disebutkan juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan; Yang Maha Awal artinya tidak ada apapun sebelum Allah, sedangkan Yang Maha Akhir artinya tidak ada apapun sesudah Allah
- Di dalam ungkapan ‘Rabb alam semesta’ terkandung dalil yang menunjukkan bahwasanya alam semesta ini adalah tanda dan bukti keberadaan Allah ‘azza wa jalla. Keteraturan alam yang sedemikian indah, keadaan yang seba tertata, tidak adanya kesimpangsiuran dan sistem [alam] yang tersusun dengan baik; ini semuanya adalah bukti kesempurnaan Dzat yang telah menciptakannya [demikian keterangan beliau yang kami sarikan dari Ahkam min al-Qur’an al-Karim, hal. 12-14]
Faidah Lain
[1] Pujian yang diberikan kepada Allah di dalam ayat ini diungkapkan dengan kata al-Hamdu. Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa suatu pujian atas kesempurnaan tidaklah disebut al-Hamdu kecuali apabila diiringi dengan kecintaan dan pengagungan. Sehingga ‘pujian bagi Allah’ bisa dimaknakan menjadi ‘mensifati Dzat yang dipuji atas kesempurnaan yang ada padanya, dengan disertai rasa cinta dan pengagungan’ (lihat Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz ‘Amma, hal. 12)
[2] Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan faidah lain yang berkaitan dengan ayat ini. Beliau berkata, “Allah ta’ala berhak dan memiliki keistimewaan yaitu dengan diberikan pujian yang sempurna kepada-Nya dari segala sisi/keadaan. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mengalami sesuatu yang menyenangkan, beliau mengucapkan Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihat. Dan apabila beliau mendapati sesuatu yang berbeda dengan hal itu [sesuatu yang kurang menyenangkan] maka beliau berkata Alhamdulillahi ‘ala kulli haal.” (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim, disahihkan sanadnya oleh al-Hakim) (lihat Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz ‘Amma, hal. 13)
Bersambung insya Allah.